BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hermeneutika adalah
suatu tindakan penafsiran untuk memahami suatu makna teks baik ilmu agama
ataupun bukan ilmu agama. Berkembangnya hermeneutika sebagai bagian dari upaya
memahami karya manusia, setidaknya telah membangun kesadaran ilmiah
bahwa: penafsiran bukanlah hal sederhana metode yang awalnya menempatkan
teks sebagai obyek sebagaimana layaknya obyek dalam science,
dinilai telah mereduksi makna teks dan menempatkan teks sebagai eksistensi yang
terpisah dari realita.
Hermeneutika tidak
hanya berarti ilmu atau teori interpretasi memahami teks, tetapi juga
mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat
kata ke duina, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas atau
dari Logos ke Praksis, selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan
menjadi kehidupan nyata.[1]
Sejauh ini, metode
hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang
ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi karena hermeneutika
adalah pemikiran Barat sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hermeneutika dapat
berdampak negative bagi perkembangan ilmu keislaman.
Walaupun demikian
hermeneutika juga berdampak positif bagi ilmu pengetauan (ilmu keislaman)
khususnya ilmu al-Qur’an. Epistemologi hermeneutika berfungsi untuk meluruskan
penilaian teradap metode ini yaitu sebagai cara baru memahami ilmu pengetauan.
Gadamer menegaskan
bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika
sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang
mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat
dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak
pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.[2]
Satu titik tolak yang
perlu dicatat adala bahwa pemikiran Gadamer merupakan titik penting yang
mengalikan kajian hermeneutika dari ruang epistemologis menjadi ontologis. Ia
menolak hermeneutika sebagai metode, sementara metode justru merintangi atau
menghambat kebenaran karena upaya pencarian kebenaran menjadi titik luwes dan
terbatas karena terikat metode.
Selain itu, proses
hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur
dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam
perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai
cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk
memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk
mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[3]
Dalam pandangan Gadamer pada salah satu
karyanya Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) memuat pokok-pokok
pikirannya tentang hermeneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan
teks, melainkan seluruh obyek ilmu sosial dan humaniora. Meskipun demikian,
bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat porsi perhatian Gadamer yang
cukup tinggi dan merupakan obyek utama hermeneutikanya. Kaintanya dengan hal
ini, Gadamer mengatakan: “Alles Schriftliche ist in der Tat in bevorzugter
Weise Gegenstand der Hermeneutik” (Semua yang tertulis pada kenyataannya
lebih diutamakan sebagai obyek hermeneutika).[4]
Gadamer dalam karyanya memang tidak memberikan penjelasan, baik
secara explisit maupun implisit, tentang metode penafsiran tertentu terhadap
teks. Hal itu dikarenakan bahwa dia tidak mau terjebak pada ide universalisme
metode hermeneutika untuk semua bidang ilmu sosial dan humaniora, sebagaimana
yang pernah digagas oleh Dilthey. Alasan lain ialah bahwa filsafat hanya
berbicara tentang ide-ide umum, mendasar dan prinsipil tentang suatu obyek
pembahasan, sehingga dia menyerahkan sepenuhnya pembicaaran mengenai metode
tertentu kepada setiap ahli bidang ilmu tertentu. Meskipun demikian,
teori-teori hermeneutika Gadamer dapat digunakan untuk
memperkuat metode pemahaman dan penafsiran suatu obyek tertentu, termasuk di
dalamnya teks tertulis.
Dalam teori-teori pokok
hermeneutika Gadamer memuat teori yang terkait satu dengan lainnya yaitu; Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (wirkungsgeschichtliches
Bewusstsein; historically effected consciousness), Teori “Prapemahaman” (Vorverständnis;
pre-understanding), Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Horizontverschmelzung;
fusion of horizons), Teori “Lingkaran Hermeneutik” (hermeneutischer
Zirkel; hermeneutical circle), dan Teori “Penerapan/Aplikasi” (Anwendung;
application). Namun dalam makalah ini pembahasannya hanya akan membahas tentang
teori penerapan (Anwendung; application).
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa
Hans Georg Gadamer ?
2.
Bagaimana Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer tentang teori penerapan/aplikasi?
3.
Bagaimana contoh penerapan
Aplikasi Hermenutika Hans George Gadamer terhadap penafsiran ayat-ayat dalam Al
Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh yang
sangat terkenal, diantara para tokoh filsafat hermeneutik. Hans Georg Gadamer
dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900.[5] Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat
ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah
universitas. Ayahnya dianggap sebagai ahli terpandang dibidangnya. Menurut ayah
Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan
merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar
perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam
filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak
sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah
meninggal pada tahun 1928.[6]
Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga
pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer
(1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman. Sejak usia
dua tahun, ia pindah ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama Wroclau, Polandia) karena ayahnya diminta jadi profesor luar
biasa di Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut
protestan yang taat dan konservatif, serta memiliki sikap yang puitis dan
lembut kebalikan dari ayahnya yang keras dan penuh disiplin ala budaya
Prusia. Ibunya meninggal pada saat Gadamer berusia empat tahun karena penyakit
diabetes. Walaupun besar dalam keluarga Protestan yang taat, tetapi ia memilih
bungkam jika ditanya tentang imannya.[7]
Ayah gadamer memiliki disiplin yang ketat dalam bidang
akademisi, semenjak yunior ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Holy
Gost School dari tahun 1907 sampai 1918, ia menunjukkan minat yang bersebrangan
dengan ayahnya. Gadamer lebih tertarik dengan ilmu-ilmu Humaniora, khususnya
sastra dan filologi. Setelah itu ia mendaftar di Universitas Breslau, ayahnya
ingin Gadamer memasuki fakultas eksak, padahal sejak di pendidikan menengah dia
sudah tertarik dengan sastra dan filsafat. Namun, keinginan Gadamer memasuki
fakultas non-eksak tetap terwujud, karena bagaimanapun sebagai seorang ilmuwan
yang sangat rasional, Johannes mau tak mau harus menerima pendapat anaknya
hanya karena ingin dipandang demokratis.[8]
Selama kuliah, Gadamer juga ikut kelompok baca Stefan
George yang mengkhususkan diri pada kajian sastra dan pembacaan puisi, terutama
karya-karya Stefan George. Di kelompok inilah Gadamer berkenalan dengan seorang
gadis yang memiliki minat kesenian yang sangat luas yaitu Frida Kratz (1898-1979). Minat
Gadamer pada filsafat mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann
berjudul Explication of Kant’s Critique of pure reason sebagai pengantar
studi sastra Jerman. Gadamer terpukau dengan retorika sang professor, sehingga
dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika
yang indah pastilah terdapat substansi filosofis.[9]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat
dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti
kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat
kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf
Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan
sebuah disertasi tentang Plato. Beberapa bulan setelah lulus ujian disertasi,
dia terjangkit polio yang membuat kakinya pincang seumur hidup. Selama dalam
perawatan, Gadamer menghabiskan waktu untuk melahap buku-buku utama filsafat,
diantaranya karya-karya Kant dan Husserl. Sesembuhnya dari sakit, dia menikahi
Frida Kartz. Pernikahan ini menandai lepasnya Gadamer dari bayang-bayang ayahnya,
dan mulai saat itu dia akan didampingi oleh seorang istri yang akan merawatnya.
Walaupun pada akhirnya pernikahan ini kandas dengan perceraian tahun 1947,
akibat perselingkuhan Frida Gadamer dengan sejawatnya, Warner Krauss.[10]
Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger
tahun 1923 di Universitas Freiburg. Bahkan ketika dilanda krisis ekonomi,
Gadamer sempat menumpang di Pondok Heidegger. Pada tahun 1927, Heidegger
mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem
akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus
membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di
universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation
tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen
pada Universitas Marburg.[11]
Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak
melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian, ketika pada tahun 1933
muncul anjuran kepada para profesor dan tenaga pengajar di Jerman supaya
menandatangani pernyataan dukungan terhadap Hitler, Gadamer tidak menolaknya.
Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi profesor di bidang
filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas
Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah
selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah
pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang
komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer
diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai
rektor universitas.[12]
Di bulan April 1949, dia mendapat undangan dari
filosof Karl Jasper untuk
menggantikan kedudukannya di Universitas Heidelberg. Gadamer pindah ke
Heidelberg tahun 1950, karena telah menduduki posisi professor tetap di kampus
ini, dan di tahun inilah dia menikahi Kate Lakesburgh. Gadamer menghabiskan
sisa hidupnya di kota Heidelberg dan mencurahkan seluruh energinya untuk
kehidupan akademis di Universitas Heidelberg. Gadamer mulai di kenal luas
ketika menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek
intelektual yang telah dirintisnya sejak awal tahun 50-an. Ketika pension di
tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama internasional. Jean Grondin
mengilustrasikan kehidupan Gadamer di usia senjanya sebagai “Masa Muda Kedua”,
karena justru di masa tua inilah dia memperoleh kesempatan untuk mengabdikan
diri pada dunia intelektual tanpa harus dihantui oleh kesibukan politik dan urusan
rumah tangga.[13]
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama
memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat
penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer
bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer
menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Akhirnya,
Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi karier Gadamer sampai memasuki
masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah di
Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia
lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk
salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.
Sampai wafat pada tanggal 13 Maret 2002 di Rumah Sakit
Universitas Heidelberg, Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting
abad XX, di antaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia,
terbelahnya Jerman menjadi dua blok, keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan
yang paling akhir, peristiwa 11 September 2000. Hanya ada beberapa ringkas
catatan dari kehidupan pribadi Gadamer yang sekiranya signifikan bagi
pembicaraan hermeneutis, yaitu:
1. Karena proyek utama yang melambungkan nama Gadamer
adalah persoalan kebenaran, maka hal ini pastilah mengundang tanya perihal
keyakinan religius Gadamer
2. Minat Gadamer pada ilmu humaniora secara umum agaknya
merupakan antitesis dari minat dan keyakinan ayahnya yang begitu ketat bagaikan
rumus-rumus kimia dalam mendidik dia.
3. Sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah pemikir
besar yang enak di ajak bercengkerama. Gadamer sering dipandang oleh para
kritikus sebagai seorang yang konservatif, karena sikapnya yang sangat terbuka
dalam berdialog, serta berfikir pelan dan hati-hati sambil memerhatikan
lontaran lawan bicara. Dari sini dapat dilihat bahwa pemikiran hermeneutis
Gadamer dalam Truth and Method memang terwujud ke dalam perilaku
sehari-hari.[14]
B.
Teori “Penerapan/Aplikasi” (Anwendung;
application)
Awalnya tradisi hermeneutik dibedakan menjadi problem atau seluk
beluk pemahaman (understanding, substilitas intelegendi), dan problem
penafsiran (interpretation, substilitas explicandi.) Baru kemudian dalam
tradisi pietisme ditambah elemen ketiga yaitu problem penerapan (application,
substilitas applicandi.)[15]
Dengan menekankan elemen ketiga itu, yang belum masuk dalam konsep hermeneutik
Schleiermacher maupun Dilthey, Gadamer mau menekankan bahwa penafsiran bukan
suatu elemen tambahan yang bisa kadang-kadang saja dilakukan setelah pemahaman
dilakukan.
Namun dalam proses pengertian yang utuh selalu terkandung unsur
pemahaman, penafsiran, dan penerapan. Sehingga tidak mengherankan jika Gadamer
seringkali menyatakan ketiga elemen itu secara berurutan dalam proses mencapai
suatu pengertian. Melalui langkah pemahaman (understanding) dan
penafsiran (interpretation) kita diajak masuk ke dalam elemen ketiga
yaitu penerapan (application.) Melihat ketiga elemen itu sekaligus dalam
satu kesatuan proses merupakan langkah lebih maju daripada dalam Hermeneutik
Romantik. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tindakan untuk mengerti
suatu teks selalu mengandung suatu penerapannya dalam kaitannya dengan situasi
orang yang ingin mengertinya. Dengan kata lain, melalui elemen penerapan ini
kita diajak melihat bahwa pengertian beraspek kontekstual.
Dalam pandangan Gadamer, application (penerapan) merupakan
suatu unsur yang masuk dalam interpretasi. Understanding (pemahaman), interpretation
(penafsiran) dan application (penerapan) merupakan tiga unsur yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Pemahaman selalu merupakan penafsiran dan penafsiran
merupakan penerapan. Menurut Gadamer, undang-undang itu baru dimengerti dengan
menerapkannya pada kasus-kasus konkrit. Tidak bisa dikatakan bahwa seorang
hakim lebih dahulu sudah mengerti dan menyadari arti ketetapan dalam
undang-undang, lalu menerapkannya pada kasus konkrit. Akan tetapi baru dengan
menerapkan ketetapan-ketetapan itu ia melihat dan mengerti isinya, terutama
bila penerapan itu menyangkut persoalan-persoalan baru yang belum dikenal
ketika undang-undang itu dirumuskan.
Gadamer meluaskan tugas hermeneutik tidak hanya sekedar mengangkat
makna suatu teks dan mengungkapkannya dalam situasi penafsir seperti seorang
penafsir orakel. Perluasan itu dilakukan karena bagi Gadamer, tugas hermeneutik
bukan hanya sekedar mereproduksi apa yang pernah dikatakan seorang pengarang,
namun makna itu harus diekspresikan dengan memertimbangkan penerapan dalam
konteks jamannya.
Gadamer memberikan contoh untuk memerjelas konsep penerapan ini
dalam hermeneutik hukum dan hermeneutik teologis karena kedua bentuk
hermeneutik tersebut dapat menjadi model interpretasi literer. Kedua bentuk
hermeneutik tersebut tidak hanya merupakan usaha untuk masuk ke suatu dunia
masa lampau yang asing, tetapi juga usaha untuk menjembatani jarak temporal
yang membentang antara teks masa lampau dengan situasi penafsir di jaman ini.
Interpretasi yang terjadi adalah mengerti makna asali di dunia masa lampau itu
sendiri dan apa artinya berkenaan dengan jaman kita sekarang. Dengan kata lain,
mengerti sebuah teks secara lebih penuh terjadi dalam proses penerapan pada
situasi konkrit.[16]
Dengan contoh di atas berarti bahwa pemahaman kita sekarang atas teks masa
lampau mungkin sesuai dengan maksud pengarang teks yang bersangkutan atau
mungkin juga tidak. Bahkan terbuka kemungkinan bahwa pemahaman yang terjadi di
kemudian hari lebih memadai dan lebih luas daripada makna yang disadari
pengarang waktu itu. Hal itu dimungkinkan, menurut Gadamer, karena kita tidak
berusaha untuk bertemu dengan pengarang yang ada di balik teks itu tetapi kita
berhadapan dengan teks itu sendiri.[17]
Disisi lain juga rentang waktu antara munculnya teks tersebut dan masa ketika
seorang penafsir hidup, yang tentunya kondisi sosial, politik, ekonomi dan
lain-lain juga jauh berbeda dengan kondisi pada masa munculnya teks.[18]
Seorang ahli hukum, misalnya, tidak hanya dituntut untuk mengerti
kitab hukum dan undang-undang secara historis-harfiah karena ia masih harus
membuat keputusan yang sah ketika berhadapan dengan kasus-kasus konkrit. Untuk
sampai pada suatu keputusan konkrit mau tidak mau ia harus melakukan suatu
interpretasi atas hal-hal umum yang termuat dalam kitab hukum yang berlaku di
wilayahnya. Dalam melakukan hal itu, ia tidak dapat hanya sekedar didorong oleh
kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang dalam
dunia hukum dikenal dengan istilah epikea (equity) yang kurang lebih
berarti hak menurut keadilan atau kewajaran.
Ketika melakukan persidangan, seorang hakim dituntut mampu
menerjemahkan hukum yang masih bersifat umum ke dalam kasus-kasus konkrit
dengan pedoman utama pada epikea atau hak atas keadilan dan kewajaran
sang terdakwa. Berdasarkan prinsip itu baru dalam penerapan itulah hakim makin
melihat dan mengerti maknanya, terutama kalau yang dihadapi adalah kasus-kasus
yang belum pernah terjadi, yang mungkin belum diperhitungkan ketika kitab hukum
itu disusun.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran tidak hanya
merupakan tindak reproduksi makna-makna belaka namun juga merupakan suatu
tindak produksi. Dalam penafsiran terbukalah kemungkinan adanya perluasan
makna. Gadamer menyatakan bahwa bisa saja terjadi makna suatu teks melampaui
apa yang dimaksudkan oleh pengarang.[19]
C.
Aplikasi Hermeneutika Al-Qur’an terhadap penafsiran
ayat-ayat
1.
Contoh Ayat tentang politik/ pemerintahan
Sebelum kita mengkaji secara Hermeneutika, agar
penafsiran kita terdapat penyesuaian antara historis dan sosiologis, kiranya
kita terlebih dahulu melihat kronologis historis dari turunnya suatu ayat
tertentu. Contoh ayat politik beserta arti dan Asbabun Nuzulnya yang
pemakalah ambil, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An.-Nisâ :58)[20]
“Dikemukakan oleh Ibnu Mardawaih dari jalur sanad
al-Kilabi dari Abi Shâlih yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs berkata: “Ketika Rasûlullâh SAW. menaklukkan Makkah, beliau SAW.
memanggil ‘Usmân bin Thalhah. Ketika (‘Usmân bin Thalhah) sudah datang
menghadap beliau SAW; Rasûlullâh SAW. bersabda: “Mana kuncinya?”. Ketika kunci
diserahkan oleh (‘Usmân bin Thalhah) kepada beliau SAW; berdirilah ‘Abdullâh
bin ‘Abbâs seraya berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; demi ayahku dan ibuku, berikan
kunci itu kepadaku, akan kurangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqâyah
(pengairan)”. Lalu ‘Usmân bin Thalhah menarik tangannya kembali. Maka
Rasûlullâh SAW. bersabda: “Wahai ‘Usmân bin Thalhah, berikan kunci itu kepadaku
(Nabi SAW)!”. ‘Usmân bin Thalhah berkata: “Inilah amanat Allah SWT.”. Maka
berdirilah Rasûlullâh SAW. dan membuka Ka’bah, kemudian keluar untuk melakukan
thawwaf di Baitullâh (Ka’bah). Maka turunlah Malaikat Jibrîl membawa perintah
agar kunci tadi dikembalikan (kepada ‘Usmân bin Thalhah). Lalu beliau SAW.
memanggil ‘Usmân bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya (kepada ‘Usmân bin
Thalhah), kemudian (Nabi SAW.) membaca Ayat tersebut.[21]
Dari ayat diatas, terdapat persoalan pokok yang
terdiri dari:
a. Perintah menunaikan amanat
Kata Al-Amanat yang menjadi fokus pembahasan
dalam pokok persoalan ini adalah bentuk jamak dari kata amanat. Merupakan
bentuk masdar dari kata kerja amina-ya’manu, amanat, aman, imn, amanat,
yang secara bahasa berati “tenang dan tidak takut”. Meski begitu dalam
pembahasan kali ini kata tersebut berperan sebagai ism maf’ul (kata
sifat sebagai obyek) dengan arti “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang
kepada orang lain dengan rasa aman”
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut mengandung kewajiban setiap orang
yang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggungjawabnya, baik amanat
dari Tuhan ataupun dari sesama manusia. Setiap pribadi yang punya kedudukan
fungsional dalam kehidupan politik dituntut agar melaksanakan kewajibannya
dengan sebaik-baiknya dan bahwa kelalaian terhadap kewajiban itu akan
mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri.
b. Perintah menetapkan hukum dengan adil
“Menetapkan hukum” dalam ayat diatas mencakup
pengertian “membuat dan menerapkan hukum”. Secara kontekstual, ayat tersebut tidak
hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat, tetapi kepada
setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang-orang lain.
Pokok persoalan lain ialah “keadilan” yang diwakili
oleh kata al-‘adl. Al-Baidhawi sebagaimana dikutip Abdul Muin Salim
menyatakan al’adl bermakna al-inshaf wa al-sawiyat, berada di
pertengahan dan mempersamakan.[22] Persamaan
itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Bahwa manusia
mempunyai hak yang sama karena mereka sama-sama manusia. Tentu saja keadilan
yang dimaksud adalah yang relevan dengan martabat kemanusiaan dan dalam bingkai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dalam hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa perintah
menetapkan hukum dengan adil agar penggunaan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang
berdasarkan untuk memelihara martabat kemanusiaan. Selain itu juga terdapat
prinsip penggunaan kekuasaan politik dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya
yang berdasarkan keadilan yang konsisten dengan kodrat manusiawi.
Selain itu karena di dalam perintah membentuk
aturan-aturan hukum secara tersirat juga terkandung pemberian kewenangan untuk
melaksanakan tugas yang diperintahkan. Dengan kata lain, pemerintah
berkewajiban mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan oleh karenanya diberikan
kekuasaan tersebut, karena tanpa kekuasaan tersebut tugas tersebut tidak bisa
dilaksanakan.
Perlu juga disampaikan dalam konteks berkehidupan
bernegara prinsip menunaikan amanat relevan dengan fungsi eksekutif dan
yudikatif, sedangkan prinsip menetapkan hukum dengan adil relevan dengan fungsi
legislatif.
Lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan
haruslah bertindak amanah dalam melaksanakan tugasnya, semua tugas yang
diberikan harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, jangan mempersulit masyarakat
dan jangan juga mengejar kepentingan duniawi apalagi dengan cara yang tidak
kesatria.
Peranan lembaga yudikatif dalam menjalankan amanah
patut mendapat sorotan sekarang ini, banyak hakim-hakim yang terlibat suap dan
melakukan perbuatan tercela, mungkin mereka sebenarnya bukanlah termasuk
kategori “yang berhak” dalam ayat diatas, namun mereka tetap “berhak” karena
proses rekrutmen yang transaksional.
Lembaga legislatif pun tak jauh beda, sudah berapa
banyak anggota legislatif yang tersandung kasus korupsi penyalahgunaan uang
negara. Mungkin juga karena proses rekrutmen mereka melalui partai politik
sebagai lembaga tempat transaksi jabatan publik, membuat yang punya uang yang
berkuasa, walhasil ketika mereka sudah duduk di kursi jabatannya akan
memikirkan pengembalian modal kampanye.
Padahal mereka bertugas untuk menetapkan dan membuat
hukum di Negara ini, sudah barang tentu, hukum yang dihasilkan pun tak sesuai
untuk kepentingan masyarakat banyak, biasanya berguna untuk kepentingan partai,
kelompok dan golongan mereka.
2.
Contoh dalam Ayat tentang pembagian harta warisan
Contoh lain dari Aplikasi Hermeneutika Al-Qur’an tentang
makna dan signifikansi dari penggalan surat An Nisa: 11 yang kurang lebih makna literalnya
sebagai berikut: “ Allah mensyari’atkan bagimu (tentang pustaka) kepada anak-anakmu.
Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian 2 anak perempuan.
Menurut pemahaman sebagian muslim,
ayat ini menunjukkan arti yang pasti. Dalam artian ayat ini dimaknai bahwa seorang
anak laki – laki benar-benar memperoleh bagian dua kali lipat dibanding dengan
anak perempuan. Hal ini telah diimplementasikan pada masa jahiliyyah. Bahkan
konon telah diaplikasikan pada zaman Rasuluulah. Sehingga hal ini ditransfer
dalam sebahagiaan umat muslim.
Menurut perspektif lain, Muhammad
Syahrir berpendapat dalam kitabnya Al kitab wa Al Quran bahwa bagian anak laki
– laki merupakan batas maksimal, sedangkan bagian anak perempuan dianggap batas
minimal. Hal ini berarti bahwa anak laki-laki tidak dapat memperoleh harta
warisan lebih besar dari dua kali lipat bagian perempuan. Tapi boleh kurang
dari itu. Dan anak perempuan tidak boleh memperoleh bagian lebih kecil dari
pada 50% bagian laki-laki. Tetapi lebih besar dari hal itu sesuai dengan
kondisi masyarakat dan tuntutan zaman. Pemahaman seperti ini selalu
memperhatikan kesadaran akan konsep keadilan dengan tidak harus selalu
mengikuti makna literal dari sebuah teks.
BAB III
PENUTUP
Dalam pandangan Gadamer, application
(penerapan) merupakan suatu unsur yang masuk dalam interpretasi. Understanding
(pemahaman), interpretation (penafsiran) dan application
(penerapan) merupakan tiga unsur yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Pemahaman selalu merupakan penafsiran dan penafsiran merupakan penerapan.
Menurut Gadamer, undang-undang itu baru dimengerti dengan menerapkannya pada
kasus-kasus konkrit. Tidak bisa dikatakan bahwa seorang hakim lebih dahulu
sudah mengerti dan menyadari arti ketetapan dalam undang-undang, lalu menerapkannya
pada kasus konkrit. Akan tetapi baru dengan menerapkan ketetapan-ketetapan itu
ia melihat dan mengerti isinya, terutama bila penerapan itu menyangkut
persoalan-persoalan baru yang belum dikenal ketika undang-undang itu
dirumuskan.
Bahasa merupakan isu sentral
filsafat hermenutik, karena itu produksi makna baru pada hermeneutik Gadamer
berlangsung karena adanya bahasa, sehingga menurut Gadamer tugas utama
hermeneutika adalah pemahaman terhadap Being yang ia artikan sebagai bahasa. Pemahaman
yang dimaksud Gadamer dalam interelasinya dengan terma hermeneutika adalah
Being is Language yang lebih mengarah kepada dialektika searah antara tiga
dunia yaitu the world of text, the world of outhor dan the world of reader.
Pemahaman berlangsung melalui suatu proses yang melingkar yaitu bertolak dari
pra pemahaman tentang realitas yang hendak difahami. Tanpa pra pemahaman ini
tidak mungkin dapat diperoleh pemahaman yang sungguh tentang teks tersebut.
Proses inilah yang disebut Gadamer sebagai lingkaran hermeneutik.
Bagi Gadamer setiap pemahaman selalu
merupakan sesuatu yang bersifat historik dialektik dan sekaligus merupakan
peristiwa kebahasaan. Pemahaman merupakan fusi dari masa lalu dengan masa kini.
Menurutnya sejarah adalah sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi
dan horizon kehidupan di masa depan. Setiap manusia dan setiap generasi adalah
anak kandung dan sekaligus pewaris sebuah tradisi. Sebuah tradisi akan
berbicara kepada kita ketika secara kritis kita interogasi yang kemudian melahirkan
sebuah persahabatan yang diikat oleh keinginan untuk berbagi pengalaman dan
gagasan antar generasi dalam rangka membangun peradaban masa depan.32 (M. Amin Abdullah, et.al.
(ed), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi ( Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2000), 307.)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muin Salim. 2002. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an.
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannnya. Jakarta:
Cahaya Qur’an.
Fakhruddin Faiz. 205. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta:
eLSAQ Press.
Hamid Fahmy Zarkasyi.
2006. Hermeneutika Sebagai Produk
Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam
Kontemporer, IKPM cabang Kairo.
Hans
Georg Gadamer. 1960. Wahrheit und Methode: Grundzüge einer philosophischen
Hermeneutik. Tübingen: J. C. B. Mohr.
Hasan Hanafi. 2009. Hermeneutika
Al Quran. Yogyakarta: Nawesea.
Inyiak Ridwan Muzir.
2010. Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer. Jogjakarta: ar-Ruzz.
K. Bertens. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta:
Gramedia.
Richard E Palmer. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sahiron Samsudin. 2011. Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an
dan Hadis-Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan
Kalijaga.
[2]
Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika
Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran
Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, hlm. 8
[3] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm.
8-11.
[4] Hans
Georg Gadamer, Wahrheit und Methode: Grundzüge einer philosophischen
Hermeneutik (Tübingen: J. C. B. Mohr, 1990 [cetakan 1 tahun 1960), hlm.
398.
[7] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika
filosofis Hans Georg Gadamer, (Jogjakarta: ar-Ruzz, 2010), hlm. 40
[15]
Menurut Palmer, ketiga elemen tersebut bukanlah tiga tahap metode
yang terpisah-pisah. Istilah substilitas di sini dimaksudkan sebagai kapasitas
kehalusan pembedaan dalam proses pemenuhan pemahaman. Lihat Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory, hlm. 187.
[16]
Palmer, Hermeneutics, hlm. 188.
[17]Ankersmit
lebih tegas lagi dalam menggarisbawahi kemungkinan itu dengan mengatakan bahwa
bagi Gadamer usaha menafsirkan bukanlah usaha untuk mencari maksud pengarang
yang tersembunyi di belakang teks, melainkan mencari apa yang terjadi antara
teks dan penafsir dalam hubungan dialog yang dianggap seperti pembicaraan dua
pribadi. Lihat Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern
Tentang Filsafat Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 188.
[18]
Sahiron Samsudin, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan
Hadis-Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga,
2011), hlm. 41.
[21] Jati sarwo edi, Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4),
Ayat: 58, dalam http://jatisarwoedy.blogspot.com/2011/11/asbabun-nuzul-surat-nisa-4-ayat-58.html (tanggal 6/2/2015)
[22] Abdul Muin Salim, Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 207.
0 komentar:
Posting Komentar