Jumat, 20 Februari 2015

APPLICATION DALAM HERMENEUTIKA HANS-GEORG GADAMER



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hermeneutika adalah suatu tindakan penafsiran untuk memahami suatu makna teks baik ilmu agama ataupun bukan ilmu agama. Berkembangnya hermeneutika sebagai bagian dari upaya memahami karya manusia, setidaknya telah membangun kesadaran  ilmiah bahwa: penafsiran bukanlah  hal sederhana metode yang awalnya menempatkan teks sebagai obyek sebagaimana layaknya obyek dalam  science, dinilai telah mereduksi makna teks dan menempatkan teks sebagai eksistensi yang terpisah dari realita.
Hermeneutika tidak hanya berarti ilmu atau teori interpretasi memahami teks, tetapi juga mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke duina, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas atau dari Logos ke Praksis, selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata.[1]
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi karena hermeneutika adalah pemikiran Barat sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hermeneutika dapat berdampak negative bagi perkembangan ilmu keislaman.
Walaupun demikian hermeneutika juga berdampak positif bagi ilmu pengetauan (ilmu keislaman) khususnya ilmu al-Qur’an. Epistemologi hermeneutika berfungsi untuk meluruskan penilaian teradap metode ini yaitu sebagai cara baru memahami ilmu pengetauan.
Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.[2]
Satu titik tolak yang perlu dicatat adala bahwa pemikiran Gadamer merupakan titik penting yang mengalikan kajian hermeneutika dari ruang epistemologis menjadi ontologis. Ia menolak hermeneutika sebagai metode, sementara metode justru merintangi atau menghambat kebenaran karena upaya pencarian kebenaran menjadi titik luwes dan terbatas karena terikat metode.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[3]  
Dalam pandangan Gadamer pada salah satu karyanya Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) memuat pokok-pokok pikirannya tentang hermeneutika filosofis yang tidak hanya berkaitan dengan teks, melainkan seluruh obyek ilmu sosial dan humaniora. Meskipun demikian, bahasa dalam sebuah teks tertentu masih mendapat porsi perhatian Gadamer yang cukup tinggi dan merupakan obyek utama hermeneutikanya. Kaintanya dengan hal ini, Gadamer mengatakan: “Alles Schriftliche ist in der Tat in bevorzugter Weise Gegenstand der Hermeneutik” (Semua yang tertulis pada kenyataannya lebih diutamakan sebagai obyek hermeneutika).[4]
Gadamer dalam karyanya memang tidak memberikan penjelasan, baik secara explisit maupun implisit, tentang metode penafsiran tertentu terhadap teks. Hal itu dikarenakan bahwa dia tidak mau terjebak pada ide universalisme metode hermeneutika untuk semua bidang ilmu sosial dan humaniora, sebagaimana yang pernah digagas oleh Dilthey. Alasan lain ialah bahwa filsafat hanya berbicara tentang ide-ide umum, mendasar dan prinsipil tentang suatu obyek pembahasan, sehingga dia menyerahkan sepenuhnya pembicaaran mengenai metode tertentu kepada setiap ahli bidang ilmu tertentu. Meskipun demikian, teori-teori hermeneutika Gadamer dapat digunakan untuk memperkuat metode pemahaman dan penafsiran suatu obyek tertentu, termasuk di dalamnya teks tertulis.
Dalam teori-teori pokok hermeneutika Gadamer memuat teori yang terkait satu dengan lainnya yaitu; Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (wirkungsgeschichtliches Bewusstsein; historically effected consciousness), Teori “Prapemahaman” (Vorverständnis; pre-understanding), Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Horizontverschmelzung; fusion of horizons), Teori “Lingkaran Hermeneutik” (hermeneutischer Zirkel; hermeneutical circle), dan Teori “Penerapan/Aplikasi” (Anwendung; application). Namun dalam makalah ini pembahasannya hanya akan membahas tentang teori penerapan (Anwendung; application).
B.       Rumusan Masalah
1.      Siapa Hans Georg Gadamer ?
2.      Bagaimana Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer tentang teori penerapan/aplikasi?
3.      Bagaimana contoh penerapan Aplikasi Hermenutika Hans George Gadamer terhadap penafsiran ayat-ayat dalam Al Qur’an?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer merupakan salah satu tokoh yang sangat terkenal, diantara para tokoh filsafat hermeneutik. Hans Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada 11 Februari 1900.[5] Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang profesor kimia di sebuah universitas. Ayahnya dianggap sebagai ahli terpandang dibidangnya. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.[6]
Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman. Sejak usia dua tahun, ia pindah ke kota Breslau (sekarang dikenal dengan nama Wroclau, Polandia) karena ayahnya diminta jadi profesor luar biasa di Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut protestan yang taat dan konservatif, serta memiliki sikap yang puitis dan lembut kebalikan dari ayahnya yang keras dan penuh disiplin ala budaya Prusia. Ibunya meninggal pada saat Gadamer berusia empat tahun karena penyakit diabetes. Walaupun besar dalam keluarga Protestan yang taat, tetapi ia memilih bungkam jika ditanya tentang imannya.[7]
Ayah gadamer memiliki disiplin yang ketat dalam bidang akademisi, semenjak yunior ia menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di Holy Gost School dari tahun 1907 sampai 1918, ia menunjukkan minat yang bersebrangan dengan ayahnya. Gadamer lebih tertarik dengan ilmu-ilmu Humaniora, khususnya sastra dan filologi. Setelah itu ia mendaftar di Universitas Breslau, ayahnya ingin Gadamer memasuki fakultas eksak, padahal sejak di pendidikan menengah dia sudah tertarik dengan sastra dan filsafat. Namun, keinginan Gadamer memasuki fakultas non-eksak tetap terwujud, karena bagaimanapun sebagai seorang ilmuwan yang sangat rasional, Johannes mau tak mau harus menerima pendapat anaknya hanya karena ingin dipandang demokratis.[8]
Selama kuliah, Gadamer juga ikut kelompok baca Stefan George yang mengkhususkan diri pada kajian sastra dan pembacaan puisi, terutama karya-karya Stefan George. Di kelompok inilah Gadamer berkenalan dengan seorang gadis yang memiliki minat kesenian yang sangat luas yaitu Frida Kratz (1898-1979). Minat Gadamer pada filsafat mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul Explication of Kant’s Critique of pure reason sebagai pengantar studi sastra Jerman. Gadamer terpukau dengan retorika sang professor, sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika yang indah pastilah terdapat substansi filosofis.[9]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Beberapa bulan setelah lulus ujian disertasi, dia terjangkit polio yang membuat kakinya pincang seumur hidup. Selama dalam perawatan, Gadamer menghabiskan waktu untuk melahap buku-buku utama filsafat, diantaranya karya-karya Kant dan Husserl. Sesembuhnya dari sakit, dia menikahi Frida Kartz. Pernikahan ini menandai lepasnya Gadamer dari bayang-bayang ayahnya, dan mulai saat itu dia akan didampingi oleh seorang istri yang akan merawatnya. Walaupun pada akhirnya pernikahan ini kandas dengan perceraian tahun 1947, akibat perselingkuhan Frida Gadamer dengan sejawatnya, Warner Krauss.[10]
Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger tahun 1923 di Universitas Freiburg. Bahkan ketika dilanda krisis ekonomi, Gadamer sempat menumpang di Pondok Heidegger. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[11]
Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian, ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para profesor dan tenaga pengajar di Jerman supaya menandatangani pernyataan dukungan terhadap Hitler, Gadamer tidak menolaknya. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai rektor universitas.[12]
Di bulan April 1949, dia mendapat undangan dari filosof  Karl Jasper untuk menggantikan kedudukannya di Universitas Heidelberg. Gadamer pindah ke Heidelberg tahun 1950, karena telah menduduki posisi professor tetap di kampus ini, dan di tahun inilah dia menikahi Kate Lakesburgh. Gadamer menghabiskan sisa hidupnya di kota Heidelberg dan mencurahkan seluruh energinya untuk kehidupan akademis di Universitas Heidelberg. Gadamer mulai di kenal luas ketika menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah dirintisnya sejak awal tahun 50-an. Ketika pension di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama internasional. Jean Grondin mengilustrasikan kehidupan Gadamer di usia senjanya sebagai “Masa Muda Kedua”, karena justru di masa tua inilah dia memperoleh kesempatan untuk mengabdikan diri pada dunia intelektual tanpa harus dihantui oleh kesibukan politik dan urusan rumah tangga.[13]
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah pensiun, Gadamer sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, Gadamer tetap sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf yang paling populer di Jerman.
Sampai wafat pada tanggal 13 Maret 2002 di Rumah Sakit Universitas Heidelberg, Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting abad XX, di antaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya Jerman menjadi dua blok, keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan yang paling akhir, peristiwa 11 September 2000. Hanya ada beberapa ringkas catatan dari kehidupan pribadi Gadamer yang sekiranya signifikan bagi pembicaraan hermeneutis, yaitu:
1.    Karena proyek utama yang melambungkan nama Gadamer adalah persoalan kebenaran, maka hal ini pastilah mengundang tanya perihal keyakinan religius Gadamer
2.   Minat Gadamer pada ilmu humaniora secara umum agaknya merupakan antitesis dari minat dan keyakinan ayahnya yang begitu ketat bagaikan rumus-rumus kimia dalam mendidik dia.
3.   Sebagai seorang pengagum Plato, Gadamer adalah pemikir besar yang enak di ajak bercengkerama. Gadamer sering dipandang oleh para kritikus sebagai seorang yang konservatif, karena sikapnya yang sangat terbuka dalam berdialog, serta berfikir pelan dan hati-hati sambil memerhatikan lontaran lawan bicara. Dari sini dapat dilihat bahwa pemikiran hermeneutis Gadamer dalam  Truth and Method memang terwujud ke dalam perilaku sehari-hari.[14]

B.       Teori “Penerapan/Aplikasi” (Anwendung; application)
Awalnya tradisi hermeneutik dibedakan menjadi problem atau seluk beluk pemahaman (understanding, substilitas intelegendi), dan problem penafsiran (interpretation, substilitas explicandi.) Baru kemudian dalam tradisi pietisme ditambah elemen ketiga yaitu problem penerapan (application, substilitas applicandi.)[15] Dengan menekankan elemen ketiga itu, yang belum masuk dalam konsep hermeneutik Schleiermacher maupun Dilthey, Gadamer mau menekankan bahwa penafsiran bukan suatu elemen tambahan yang bisa kadang-kadang saja dilakukan setelah pemahaman dilakukan.
Namun dalam proses pengertian yang utuh selalu terkandung unsur pemahaman, penafsiran, dan penerapan. Sehingga tidak mengherankan jika Gadamer seringkali menyatakan ketiga elemen itu secara berurutan dalam proses mencapai suatu pengertian. Melalui langkah pemahaman (understanding) dan penafsiran (interpretation) kita diajak masuk ke dalam elemen ketiga yaitu penerapan (application.) Melihat ketiga elemen itu sekaligus dalam satu kesatuan proses merupakan langkah lebih maju daripada dalam Hermeneutik Romantik. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tindakan untuk mengerti suatu teks selalu mengandung suatu penerapannya dalam kaitannya dengan situasi orang yang ingin mengertinya. Dengan kata lain, melalui elemen penerapan ini kita diajak melihat bahwa pengertian beraspek kontekstual.
Dalam pandangan Gadamer, application (penerapan) merupakan suatu unsur yang masuk dalam interpretasi. Understanding (pemahaman), interpretation (penafsiran) dan application (penerapan) merupakan tiga unsur yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pemahaman selalu merupakan penafsiran dan penafsiran merupakan penerapan. Menurut Gadamer, undang-undang itu baru dimengerti dengan menerapkannya pada kasus-kasus konkrit. Tidak bisa dikatakan bahwa seorang hakim lebih dahulu sudah mengerti dan menyadari arti ketetapan dalam undang-undang, lalu menerapkannya pada kasus konkrit. Akan tetapi baru dengan menerapkan ketetapan-ketetapan itu ia melihat dan mengerti isinya, terutama bila penerapan itu menyangkut persoalan-persoalan baru yang belum dikenal ketika undang-undang itu dirumuskan.
Gadamer meluaskan tugas hermeneutik tidak hanya sekedar mengangkat makna suatu teks dan mengungkapkannya dalam situasi penafsir seperti seorang penafsir orakel. Perluasan itu dilakukan karena bagi Gadamer, tugas hermeneutik bukan hanya sekedar mereproduksi apa yang pernah dikatakan seorang pengarang, namun makna itu harus diekspresikan dengan memertimbangkan penerapan dalam konteks jamannya.
Gadamer memberikan contoh untuk memerjelas konsep penerapan ini dalam hermeneutik hukum dan hermeneutik teologis karena kedua bentuk hermeneutik tersebut dapat menjadi model interpretasi literer. Kedua bentuk hermeneutik tersebut tidak hanya merupakan usaha untuk masuk ke suatu dunia masa lampau yang asing, tetapi juga usaha untuk menjembatani jarak temporal yang membentang antara teks masa lampau dengan situasi penafsir di jaman ini. Interpretasi yang terjadi adalah mengerti makna asali di dunia masa lampau itu sendiri dan apa artinya berkenaan dengan jaman kita sekarang. Dengan kata lain, mengerti sebuah teks secara lebih penuh terjadi dalam proses penerapan pada situasi konkrit.[16] Dengan contoh di atas berarti bahwa pemahaman kita sekarang atas teks masa lampau mungkin sesuai dengan maksud pengarang teks yang bersangkutan atau mungkin juga tidak. Bahkan terbuka kemungkinan bahwa pemahaman yang terjadi di kemudian hari lebih memadai dan lebih luas daripada makna yang disadari pengarang waktu itu. Hal itu dimungkinkan, menurut Gadamer, karena kita tidak berusaha untuk bertemu dengan pengarang yang ada di balik teks itu tetapi kita berhadapan dengan teks itu sendiri.[17] Disisi lain juga rentang waktu antara munculnya teks tersebut dan masa ketika seorang penafsir hidup, yang tentunya kondisi sosial, politik, ekonomi dan lain-lain juga jauh berbeda dengan kondisi pada masa munculnya teks.[18]
Seorang ahli hukum, misalnya, tidak hanya dituntut untuk mengerti kitab hukum dan undang-undang secara historis-harfiah karena ia masih harus membuat keputusan yang sah ketika berhadapan dengan kasus-kasus konkrit. Untuk sampai pada suatu keputusan konkrit mau tidak mau ia harus melakukan suatu interpretasi atas hal-hal umum yang termuat dalam kitab hukum yang berlaku di wilayahnya. Dalam melakukan hal itu, ia tidak dapat hanya sekedar didorong oleh kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang dalam dunia hukum dikenal dengan istilah epikea (equity) yang kurang lebih berarti hak menurut keadilan atau kewajaran.
Ketika melakukan persidangan, seorang hakim dituntut mampu menerjemahkan hukum yang masih bersifat umum ke dalam kasus-kasus konkrit dengan pedoman utama pada epikea atau hak atas keadilan dan kewajaran sang terdakwa. Berdasarkan prinsip itu baru dalam penerapan itulah hakim makin melihat dan mengerti maknanya, terutama kalau yang dihadapi adalah kasus-kasus yang belum pernah terjadi, yang mungkin belum diperhitungkan ketika kitab hukum itu disusun.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran tidak hanya merupakan tindak reproduksi makna-makna belaka namun juga merupakan suatu tindak produksi. Dalam penafsiran terbukalah kemungkinan adanya perluasan makna. Gadamer menyatakan bahwa bisa saja terjadi makna suatu teks melampaui apa yang dimaksudkan oleh pengarang.[19]
C.      Aplikasi Hermeneutika Al-Qur’an terhadap penafsiran ayat-ayat
1.      Contoh Ayat tentang politik/ pemerintahan
Sebelum kita mengkaji secara Hermeneutika, agar penafsiran kita terdapat penyesuaian antara historis dan sosiologis, kiranya kita terlebih dahulu melihat kronologis historis dari turunnya suatu ayat tertentu. Contoh ayat politik beserta arti dan Asbabun Nuzulnya yang pemakalah ambil, yang artinya:  “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An.-Nisâ :58)[20]
“Dikemukakan oleh Ibnu Mardawaih dari jalur sanad al-Kilabi dari Abi Shâlih yang bersumber dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs berkata: “Ketika Rasûlullâh SAW. menaklukkan Makkah, beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah. Ketika (‘Usmân bin Thalhah) sudah datang menghadap beliau SAW; Rasûlullâh SAW. bersabda: “Mana kuncinya?”. Ketika kunci diserahkan oleh (‘Usmân bin Thalhah) kepada beliau SAW; berdirilah ‘Abdullâh bin ‘Abbâs seraya berkata: “Wahai Rasûlullâh SAW; demi ayahku dan ibuku, berikan kunci itu kepadaku, akan kurangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqâyah (pengairan)”. Lalu ‘Usmân bin Thalhah menarik tangannya kembali. Maka Rasûlullâh SAW. bersabda: “Wahai ‘Usmân bin Thalhah, berikan kunci itu kepadaku (Nabi SAW)!”. ‘Usmân bin Thalhah berkata: “Inilah amanat Allah SWT.”. Maka berdirilah Rasûlullâh SAW. dan membuka Ka’bah, kemudian keluar untuk melakukan thawwaf di Baitullâh (Ka’bah). Maka turunlah Malaikat Jibrîl membawa perintah agar kunci tadi dikembalikan (kepada ‘Usmân bin Thalhah). Lalu beliau SAW. memanggil ‘Usmân bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya (kepada ‘Usmân bin Thalhah), kemudian (Nabi SAW.) membaca Ayat tersebut.[21]
Dari ayat diatas, terdapat persoalan pokok yang terdiri dari:
a.     Perintah menunaikan amanat
Kata Al-Amanat yang menjadi fokus pembahasan dalam pokok persoalan ini adalah bentuk jamak dari kata amanat. Merupakan bentuk masdar dari kata kerja amina-ya’manu, amanat, aman, imn, amanat, yang secara bahasa berati “tenang dan tidak takut”. Meski begitu dalam pembahasan kali ini kata tersebut berperan sebagai ism maf’ul (kata sifat sebagai obyek) dengan arti “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut mengandung kewajiban setiap orang yang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggungjawabnya, baik amanat dari Tuhan ataupun dari sesama manusia. Setiap pribadi yang punya kedudukan fungsional dalam kehidupan politik dituntut agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan bahwa kelalaian terhadap kewajiban itu akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri.
b.    Perintah menetapkan hukum dengan adil
“Menetapkan hukum” dalam ayat diatas mencakup pengertian “membuat dan menerapkan hukum”. Secara kontekstual, ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat, tetapi kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang-orang lain.
Pokok persoalan lain ialah “keadilan” yang diwakili oleh kata al-‘adl. Al-Baidhawi sebagaimana dikutip Abdul Muin Salim menyatakan al’adl bermakna al-inshaf wa al-sawiyat, berada di pertengahan dan mempersamakan.[22] Persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Bahwa manusia mempunyai hak yang sama karena mereka sama-sama manusia. Tentu saja keadilan yang dimaksud adalah yang relevan dengan martabat kemanusiaan dan dalam bingkai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dalam hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa perintah menetapkan hukum dengan adil agar penggunaan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan untuk memelihara martabat kemanusiaan. Selain itu juga terdapat prinsip penggunaan kekuasaan politik dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya yang berdasarkan keadilan yang konsisten dengan kodrat manusiawi.
Selain itu karena di dalam perintah membentuk aturan-aturan hukum secara tersirat juga terkandung pemberian kewenangan untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan. Dengan kata lain, pemerintah berkewajiban mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan oleh karenanya diberikan kekuasaan tersebut, karena tanpa kekuasaan tersebut tugas tersebut tidak bisa dilaksanakan.
Perlu juga disampaikan dalam konteks berkehidupan bernegara prinsip menunaikan  amanat relevan dengan fungsi eksekutif dan yudikatif, sedangkan prinsip menetapkan hukum dengan adil relevan dengan fungsi legislatif.
Lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan haruslah bertindak amanah dalam melaksanakan tugasnya, semua tugas yang diberikan harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, jangan mempersulit masyarakat dan jangan juga mengejar kepentingan duniawi apalagi dengan cara yang tidak kesatria.
Peranan lembaga yudikatif dalam menjalankan amanah patut mendapat sorotan sekarang ini, banyak hakim-hakim yang terlibat suap dan melakukan perbuatan tercela, mungkin mereka sebenarnya bukanlah termasuk kategori “yang berhak” dalam ayat diatas, namun mereka tetap “berhak” karena proses rekrutmen yang transaksional.
Lembaga legislatif pun tak jauh beda, sudah berapa banyak anggota legislatif yang tersandung kasus korupsi penyalahgunaan uang negara. Mungkin juga karena proses rekrutmen mereka melalui partai politik sebagai lembaga tempat transaksi jabatan publik, membuat yang punya uang yang berkuasa, walhasil ketika mereka sudah duduk di kursi jabatannya akan memikirkan pengembalian modal kampanye.
Padahal mereka bertugas untuk menetapkan dan membuat hukum di Negara ini, sudah barang tentu, hukum yang dihasilkan pun tak sesuai untuk kepentingan masyarakat banyak, biasanya berguna untuk kepentingan partai, kelompok dan golongan mereka.
2.      Contoh dalam Ayat tentang pembagian harta warisan
Contoh lain dari Aplikasi Hermeneutika Al-Qur’an tentang makna dan signifikansi dari penggalan surat An Nisa: 11 yang kurang lebih makna literalnya sebagai berikut: “ Allah mensyari’atkan bagimu (tentang pustaka) kepada anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian 2 anak perempuan.
Menurut pemahaman sebagian muslim, ayat ini menunjukkan arti yang pasti. Dalam artian ayat ini dimaknai bahwa seorang anak laki – laki benar-benar memperoleh bagian dua kali lipat dibanding dengan anak perempuan. Hal ini telah diimplementasikan pada masa jahiliyyah. Bahkan konon telah diaplikasikan pada zaman Rasuluulah. Sehingga hal ini ditransfer dalam sebahagiaan umat muslim.
Menurut perspektif lain, Muhammad Syahrir berpendapat dalam kitabnya Al kitab wa Al Quran bahwa bagian anak laki – laki merupakan batas maksimal, sedangkan bagian anak perempuan dianggap batas minimal. Hal ini berarti bahwa anak laki-laki tidak dapat memperoleh harta warisan lebih besar dari dua kali lipat bagian perempuan. Tapi boleh kurang dari itu. Dan anak perempuan tidak boleh memperoleh bagian lebih kecil dari pada 50% bagian laki-laki. Tetapi lebih besar dari hal itu sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan zaman. Pemahaman seperti ini selalu memperhatikan kesadaran akan konsep keadilan dengan tidak harus selalu mengikuti makna literal dari sebuah teks.
BAB III
PENUTUP

Dalam pandangan Gadamer, application (penerapan) merupakan suatu unsur yang masuk dalam interpretasi. Understanding (pemahaman), interpretation (penafsiran) dan application (penerapan) merupakan tiga unsur yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pemahaman selalu merupakan penafsiran dan penafsiran merupakan penerapan. Menurut Gadamer, undang-undang itu baru dimengerti dengan menerapkannya pada kasus-kasus konkrit. Tidak bisa dikatakan bahwa seorang hakim lebih dahulu sudah mengerti dan menyadari arti ketetapan dalam undang-undang, lalu menerapkannya pada kasus konkrit. Akan tetapi baru dengan menerapkan ketetapan-ketetapan itu ia melihat dan mengerti isinya, terutama bila penerapan itu menyangkut persoalan-persoalan baru yang belum dikenal ketika undang-undang itu dirumuskan.
Bahasa merupakan isu sentral filsafat hermenutik, karena itu produksi makna baru pada hermeneutik Gadamer berlangsung karena adanya bahasa, sehingga menurut Gadamer tugas utama hermeneutika adalah pemahaman terhadap Being yang ia artikan sebagai bahasa. Pemahaman yang dimaksud Gadamer dalam interelasinya dengan terma hermeneutika adalah Being is Language yang lebih mengarah kepada dialektika searah antara tiga dunia yaitu the world of text, the world of outhor dan the world of reader. Pemahaman berlangsung melalui suatu proses yang melingkar yaitu bertolak dari pra pemahaman tentang realitas yang hendak difahami. Tanpa pra pemahaman ini tidak mungkin dapat diperoleh pemahaman yang sungguh tentang teks tersebut. Proses inilah yang disebut Gadamer sebagai lingkaran hermeneutik.
Bagi Gadamer setiap pemahaman selalu merupakan sesuatu yang bersifat historik dialektik dan sekaligus merupakan peristiwa kebahasaan. Pemahaman merupakan fusi dari masa lalu dengan masa kini. Menurutnya sejarah adalah sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horizon kehidupan di masa depan. Setiap manusia dan setiap generasi adalah anak kandung dan sekaligus pewaris sebuah tradisi. Sebuah tradisi akan berbicara kepada kita ketika secara kritis kita interogasi yang kemudian melahirkan sebuah persahabatan yang diikat oleh keinginan untuk berbagi pengalaman dan gagasan antar generasi dalam rangka membangun peradaban masa depan.32 (M. Amin Abdullah, et.al. (ed), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi ( Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), 307.)
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muin Salim. 2002. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Departemen Agama RI. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannnya. Jakarta: Cahaya Qur’an.

Fakhruddin Faiz. 205. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press.

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2006.  Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo.

Hans Georg Gadamer. 1960. Wahrheit und Methode: Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik. Tübingen: J. C. B. Mohr.

Hasan Hanafi. 2009. Hermeneutika Al Quran. Yogyakarta: Nawesea.


Inyiak Ridwan Muzir. 2010. Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer. Jogjakarta: ar-Ruzz.

K. Bertens. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.

Richard E Palmer. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sahiron Samsudin. 2011. Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis-Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.


[1] Hasan Hanafi. Hermeneutika Al Quran. (Yogyakarta; Nawesea, 2009), hlm. 35.
[2] Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006, hlm. 8
[3] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 8-11.
[4] Hans Georg Gadamer, Wahrheit und Methode: Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik (Tübingen: J. C. B. Mohr, 1990 [cetakan 1 tahun 1960), hlm. 398.
[5] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002),  hlm. 254
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman,  hlm. 254
[7] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer, (Jogjakarta: ar-Ruzz, 2010),  hlm.  40
[8] Ibid,  hlm. 40-41.
[9] Ibid, hlm. 42-43.
[10] Ibid, hlm. 43.
[11] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, hlm. 254-255.
[12] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, hlm. 255-256.
[13] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer, hlm. 45-46.
[14] Ibid, hlm. 46-47
[15] Menurut Palmer, ketiga elemen tersebut bukanlah tiga tahap metode yang terpisah-pisah. Istilah substilitas di sini dimaksudkan sebagai kapasitas kehalusan pembedaan dalam proses pemenuhan pemahaman. Lihat Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory, hlm. 187.
[16] Palmer, Hermeneutics, hlm. 188.
[17]Ankersmit lebih tegas lagi dalam menggarisbawahi kemungkinan itu dengan mengatakan bahwa bagi Gadamer usaha menafsirkan bukanlah usaha untuk mencari maksud pengarang yang tersembunyi di belakang teks, melainkan mencari apa yang terjadi antara teks dan penafsir dalam hubungan dialog yang dianggap seperti pembicaraan dua pribadi. Lihat Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 188.
[18] Sahiron Samsudin, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis-Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 41.
[19] Gadamer, Truth and Method, hlm. 264.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannnya, (Jakarta: Cahaya Qur’an, 2006),  hlm. 87.
[21] Jati sarwo edi, Asbâbun Nuzûl Surat an-Nisâ’ (4), Ayat: 58,  dalam http://jatisarwoedy.blogspot.com/2011/11/asbabun-nuzul-surat-nisa-4-ayat-58.html (tanggal 6/2/2015)
[22] Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 207.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More