Sabtu, 07 Februari 2015

Sejarah Penulisan Al Hadits

A. HADIS PADA ZAMAN NABI

Membicarakan keberadaan hadis pada masa Nabi tidak bisa dipisahkan dengan bahasan tentang pribadi Nabi sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hadis adalah segala aktifitas yang berkaitan dengan diri Nabi. Oleh karena itu pada bab ketiga akan dibicarakan tentang proses-proses dan kegiatan Nabi di dalam mengajarkan hadis-hadis beliau tersebut.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mustafa Azami (1992:27) ada tiga metode atau manhaj yang ditempuh oleh Nabi di ketika mengajarkan hadis-hadis tersebut. Adapun metode yang dimaksud adalah :
1. Metode Pengajaran Hadis secaara verbal/lisan.
2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
3. Demontrasi (Praktek aktual)
Berikut ini akan dibicarakan secara garis besar masing-masing dari ketiga jenis metode pengajaran hadis tersebut di atas.



I. Metode Pengajaran Hadis secara Verbal.

Melihat posisi sentral Beliau sebagai penyampai ajaran islam, maka secara tidak langsung Nabi sendiri adalah guru yang sesungguhnya terhadap sunah/hadis-hadisnya. Adapun langkah-langkah yang beliau tempuh untuk mengajarkan hadis-hadis tersebut adalah dengan mengulang-ulang ucapan beliau sebanyak tiga kali demi memudahkan menghafal dan memahami ucapan beliau tersebut.
Sekali waktu beliau menyempatkan diri untuk mendengarkan kembali segala ajaran-ajaran yang pernah disampaikan, demi memeriksa apakah ucapan beliau itu sudah dapat difahami secara benar oleh para sahabat/belum. Sebagaimana dapat dilihat pada kitab shahih Bukhari bab wudlu hadis no 75. Pengajaran hadis pada masa yang paling dini tidak melulu hanya berasal dari diri Nabi saja. Pada saat-saat tertentu ketika sahabat menghadapi suatu persoalan yang tidak didapatkan ketentuannya dalam ayat-ayat al qur’an atau ajaran Nabi yang selama ini pernah mereka dapatkan, para sahabat banyak yang mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bukti yang otentik terhadap pernyataan tersebut adalah adanya penggunaan kalimat “yas’alunaka” dan “yastaftinunaka” dalam berbagai ayat- ayat al qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwa al qur’an menggunakan kalimat ini adalah karena adanya suatu pertanyaan dari sahabat dan Nabi merasa tidak berkompeten untuk menjawabnya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan sahabat tersebut. Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa proses pembelajaran pada masa nabi tidak hanya berasal dari diri beliau, akan tetapi mengikutsertakan secara timbal balik peran serta dari sahabat-sahabatnya. Sehingga bisa diidentifikasikan bahwa terhadap pertanyaan sahabat yang bisa dijawab oleh Nabi, maka konteks ucapan itu menjadi sebuah hadis/sunah. Sementara terhadap pertanyaan sahabat yang Nabi menangguhkan dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah, sambil menunggu keputusan wahyu, maka konteks jawaban itu menjadi satu bagian dari al qur’an.

2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis

Sejarah mencatat bahwa sebagai seorang pemimpin tertinggi dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Madinah, Nabi Muhammad telah melakukan suatu kebijaksanaan yang dalam istilah kekinian disebut sebagai praktek-praktek otorita-administratif. Berbagai dokumen resmi baik berupa surat menyurat atau hasil kerja sama termasuk di antaranya piagam, perjanjian, traktaat atau apapun istilahnya yang dikirimkan atau yang dibuat dengan fihak-fihak yang lain merupakan suatu bukti yang otentik bahwa Nabi mengajarkan hadisnya dengan secara tertulis.

Surat-surat Beliau kepada para panglima atau komandan perang, gubernur muslim atau penguasa daerah lainnya juga kepada penguasa atau raja non muslim yang diajak masuk islam merupakan suatu bentuk pengajaran hadis secara tertulis. Setiap surat tertulis yang dibuat oleh Nabi lewat sebagian kuttab-nya, kadangkala secara panjang lebar menjelaskan dan merangkum tentang berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan zakat, pajak, bentuk-bentuk ibadah dan lain sebagainya disesuaikan dengan orang atau fihak yang disurati.
Semua surat-surat yang dikirimkan oleh beliau itu tentunya bukan beliau sendiri yang menulisnya. mengingat bahwa beliau adalah pribadi yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis. Berdasarkan apa yang diinformasikan oleh Mustafa al azami (1992:28) Nabi memiliki sekitar 45 penulis-penulis wahyu atau penulis untuk kepentingan aktifitas kenegaraan beliau.
Sebuah hadis yang amat terkenal barangkali bisa menjadi bukti bahwa Nabi memang memiliki beberapa kuttab yang melayani segala keperluan beliau, hadis tersebut berbunyi :
اكتبوا لابي شاه ( الحديث )

bunyi teks hadis ini berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada haji wada’ diketika itu Nabi menyampaikan suatu ajaran-ajaranNya dan ada seorang ulama Yaman yang merasa berkepentingan dengan isi ajaran yang disampaikan oleh beliau tersebut. Pada akhir ceramahnya ulama tersebut meminta kepada Nabi agar bersedia menuliskan inti ceramah tersebut untuk dirinya. Kemudian nabi menyuruh para sahabatnya untuk menulis ajaran yang baru saja beliau sampaikan. Sekali lagi ini adalah bukti bahwa proses pengajaran hadis nabi itu kadangkala menggunakan media tulisan.

3. Metode Pengajaran Hadis dengan cara Demonstrasi (Praktek Aktual)

Hukum-hukum yang terdapat di dalam al qur’an kadang tersusun dalam sighat ‘Am dan mutlaq. Oleh karena itu maka diperlukan suatu penjelasan dan penafsiran dari Nabi tentang beberapa kewajiban syar’i dan larangan-larangan syar’i agar bisa dijadikan pedoman bagi ummat islam untuk menaati seluruh ajaran islam tersebut. Dalam banyak hal perintah-perintah al qur’an di sampaikan dalam bentuk yang tidak terperinci. Umpamanya kewajiban tentang sholat, zakat puasa dan lain-lain, ketiga bentuk kewajiban di dalam al qur’an ini tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang rinci tentang bentuk, jumlah dan cara bagaimana kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh ummat islam. Oleh karena itu datanglah as sunnah untuk memerinci bentuk-bentuk dan ukuran atau jumlah dan perincian dari masing-masing kewajiban tersebut. Proses bagaimana Nabi menjelaskan hukum-hukum dalam bentuk yang detail itu, sesungguhnya merupakan satu bagian dari sunnah Nabi dalam bentuk demonstrasi atau praktek yang aktual dari beliau. Hadis-hadis yang berupa penjelasan ketentuan umum al qur’an atau hadis-hadis yang memang merupakan hukum yang ditetapkan nabi sebagai syari’ dalam bentuk perilaku atau perbuatan tertentu termasuk metode yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka mengajarkan as sunnah terhadap sahabatnya. Cara-cara berwudlu’ , kaifiyah sholat, cara manasik haji adalah salah satu dari metode pengajaran yang diajarkan langsung oleh Nabi.

A. Penulisan hadis pada zaman Nabi

Sejarah periwayatan hadis nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al qur’an. Periwayatan al qur’an dari nabi kepada para sahabatnya berlangsung secara umum dan massal. Para sahabat setelah mendengarkan ayat-ayat al qur’an yang disampaikan langsung oleh nabi Muhammad, mereka lantas menghafalnya. Di samping itu dikalangan para sahabat nabi ada yang membuat catatan ayat-ayat tersebut. Para pencatat itu ada yang disuruh oleh nabi dan ada yang karena inisiatif mereka sendiri. Kemudian secara berkala hafalan para sahabat itu diperiksa oleh Nabi Muhammad. Sementara hafalan nabi sendiri menurut beberapa riwayat yang mu’tabar diperiksa oleh jibril pada tiap bulan ramadlan, dan khusus pada tahun kewafatannya hafalan Nabi diperiksa dua kali. Kemudian setelah nabi muhammad wafat periwayatan al qur’an berlangsung secara mutawatir juga dari zaman kezaman. Periwayatan itu bukan hanya secara lisan saja, melainkan juga secara tertulis. Khusus periwayatan dalam bentuk tertulis, penghimpunan seluruhnya secera resmi dilaksanakan pada zaman khalifah Abu Bakar al Shidiq (w. 13 H) dan digandakan kemudian disebarluaskan dengan tujuan keseragaman bacaan pada zaman khalifah Ustman bin Affan (w. 35 H), karenanya sangat sulit orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengadakan pemalsuan al qur’an. Fakta sejarah ini merupakan salah satu bukti kebenaran jaminan Allah terhadap pemeliharan al qur’an pada sepanjang zaman. Adapun periwayatan hadis hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad (Abu Rayyah, Tt : 279-280).

Dalam pada itu suatu ketika nabi pernah melarang para sahabatnya untuk menulis hadis Nabi. Nabi memerintahkan para sahabat agar menghapus seluruh catatan selain dari catatan ayat al qur’an. Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw pernah pula menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Nabi menyatakan apa yang keluar dari lisannya adalah benar karena itu nabi Muhammad saw tidak berkeberatan bila hadisnya ditulis. Jadi dilihat dari kebijaksanaan nabi sendiri dapatlah dinyatakan bahwa hanya sebagian saja periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi. Sekiranya Nabi tidak pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, niscaya masih juga tidak mungkin seluruh hadis dapat ditulis pada zaman Nabi. Hal ini disebabkan karena (a) terjadinya hadis tidak selalu dihadapan sahabat nabi yang pandai menulis hadis (b) perhatian nabi sendiri sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya demikian juga para sahabat nabi pada umumnya lebih banyak tertuju kepada pemeliharaan qur’an. (c) walaupun nabi memiliki beberapa orang sekretaris, akan tetapi para sekretaris itu hanya diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi. dan (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain, apalagi dengan peralatan yang masih sangat sederhana. Jadi bagaimanapun periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis.

Selama ini seolah-olah berkembang suatu pendapat yang menyatakan bahwa sebelum islam lahir bangsa Arab tidak mengenal dan mengerti kegiatan tulis menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan adanya kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan lama cerita dan karya sasteranya. Suatu hal yang tidak dapat disangsikan lagi bahwa bagian utara jazirah arab sudah mengenal baca tulis. Makkah, sebagai kota perdagangan menjadi saksi akan adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis lebih banyak daripada kota madinah. Sekalipun ada anggapan yang menyatakan bahwa Makkah pada waktu itu hanya memiliki beberapa puluh orang saja yang mampu baca tulis, akan tetapi menurut hemat Dr. Subhi Shalih (1988:24) sekalipun pendapat itu dianggap benar, tentunya tidak berasarkan pada perhitungan secara mendetail atau berdasarkan suatu penelitian yang benar-benar ilmiah. Jadi khabar tersebut lebih bersifat perkiraan (spekulatif) yang tidak meyakinkan. Hanya saja kita memang tidak memiliki bukti-bukti dan dalil-dalil baik aqli maupun naqli yang bisa menguatkan dugaan kami akan banyaknya orang Arab pada masa itu yang dapat membaca dan menulis.

al Khatib al Baghdady (w.463 H) adalah seorang yang paling banyak melakukan kajian terhadap hadis-hadis tentang penulisan hadis pada masa nabi muhammad saw. Bukunya yang berjudul Taqyid al ‘Ilm adalah buku yang paling bagus yang membahas masalah tersebut dan sampai sekarang belum ada buku lain yang mengungguli buku al Bagdhady tersebut. Pada masa-masa terakhir ini memang telah terdapat buku-buku yang membahas penulisan hadis, namun tidak meruipakan kajian khusus untuk masalah penulisan hadis. Misalnya karya Muhammad ‘Ajjaj al Khatib yang berjudul as sunnah qabla tadwin dan karya Muhammad Mustafa al Azamiy yang berjudul Dirasat fi al Hadis an Nabawiy wa Tarikh Tadwinih.

Al Bagdadiy menuturkan bahwa ada tiga buah hadis yang melarang penulisan hadis masing-masing diriwayatkan oleh Abu Said al Khudriy, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit. Dari ketiga jalur ini yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya adalah riwayat yang disampaikan oleh oleh abu Said al Khudriy. yaitu hadis yang berbunyi :

لا تكتب عني غير القران و من كتب عني غير القران فليمحه ( الحديث )

Pada saat yang sama terdapat pula delapan buah hadis yang mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Antara lain pada waktu kota Makkah dibebaskan (Fath Makkah) Nabi muhammad saw berpidato dihadapan ummat islam. Ketika itu ada seorang yang berasal dari daerah Yaman yang bernama Abu Syah meminta kepada Nabi untuk dituliskan isi pidato itu kepadanya. Nabi muhammad saw kemudian menyuruh para sahabat “Tuliskan untuk abu Syah” (Ya’qub,1995:61)

Hadis-hadis yang memerintahkan penulisan hadis ini secara umum juga dinilai shahih. karenanya kini terdapat dua versi hadis, yang satu melarang penulisan hadis, dan yang kedua menyuruh penulisan hadis. Dua versi hadis ini tidak mungkin ditinggalkan semuanya atau salah satunya, karena kedua-duanya sama-sama kuat kualitasnya. Maka para ulama menempuh metode jama’ yaitu menggabungkan pengertian kedua versi hadis itu dengan alternatif-alternatif sebagai berikut :

pertama, larangan penulisan hadis itu telah dihapus (dinasakh) dengan hadis-hadis yang mengizinkan atau menyuruh penulisan hadis.
kedua, larangan penulisan hadis itu berlaku apabila hal itu dilakukan dalam satu lembar kertas kerja bersama al qur’an, karena bila hal ini tejadi dikhawatirkan al qur’an akan tercampur dengan al hadis.

Prof. Dr. M. M. Azami seorang pakar ilmu hadis masa kini cenderung kepada alternatif yang kedua dengan alasan bahwa nabi Muhammad saw pernah mendiktekan hadisnya kepada para sahabat dan beliau juga mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis. Dengan demikian argumen kelompok inkar as sunnah yang berkeyakinan bahwa al hadis tidak pernah terdokumentasikan atau tertulis pada masa nabi, karena ada hadis yang melarang untuk itu- tidak dapat dibenarkan secara ilmiah. Justru sebaliknya nabi Muhammad saw pernah mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis.

Sesungguhnya dari sekian banyak pendapat dan dasar argumentasi yang dimunculkan oleh orang yang meragukan adanya penulisan hadis pada masa nabi, sebagian besar berasal dari orang-orang yang tidak memiliki keahlian dibidang ilmu hadis, atau Ia hanya memiliki sedikit saja pengetahuan tentang al hadis. Kemudian atas sebab satu dan lain hal Ia mengemukakan pendapatnya yang menyalahi kebenaran itu, sekalipun sesungghuhnya tanpa bekal yang memadai.

Apabila umat islam pada masa awal telah memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca dan apabila nabi Muhammad saw telah menganjurkan para sahabat untuk menulis hadis, maka pertanyannya yang muncul sekarang ini adalah apakah ada suatu dokumen sejarah yang mampu memberikan bukti yang cukup signifikan bahwa para sahabat telah menulis hadis pada masa itu, atau dengan kata lain apakah ada kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa awal islam ?

Pertanyaan semacam ini selalu muncul kepermukaan karena masih ada sementara orang yang beranggapan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah ibn Syihab az Zuhri pada masa pemerintahan khalifah umar bin abdul aziz. Fakta sejarah menyajikan sebuah bukti bahwa imam ibn Syihab az Zuhri meninggal pada tahun 123 H, maka ada sementara orang yang berkesimpulan bahwa penulisan hadis yang pertama kali pastilah baru dimulai jauh sesudah wafatnya nabi Muhammad saw. hal ini disebabkan karena jauhnya jarak waktu antara masa hidup nabi Muhammad saw dengan penulisan hadis beliau maka akan mungkin sekali terjadi pemalsuan-pemalsuan terhadap hadis sehingga tingkat otentisitas dan validitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. dan karenanya hadis tidak dapat dijadikan sumber syari’at islam.

Sesungguhnya kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa tradisi tulis menulis sudah tersebar pada masa nabi Muhammad Saw., dalam scope yang lebih luas daripada masa pra-islam. Sebab al qur’an telah memerintahkan belajar dan Nabi muhammad sendiri juga menganjurkan akan hal itu. Karakter risalah membawa konskuensi maraknya para pelajar, pembaca dan penulis karena wahyu memerlukan juru tulis. Surat-surat perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut aspek kenegaraan juga memerlukan juru tulis. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah islam datang banyak terdapat juru tulis untuk memenuhi kebutuhan negara yang baru. Rasulullah saw memiliki penulis-penulis wahyu yang jumlahnya mencapai empat puluh orang. Beliau juga memiliki ahli tulis sedekah ahli tulis hutang piutang dan ahli tulis untuk surat menyurat dengan bahasa asing (al Khatib, 1988:129) Nama-nama penulis rasulullah saw yang disebutkan oleh sejarawan tidaklah menunjukkan jumlah yang terbatas. Sejarawan hanya menyebut mereka yang kontinyu menulis dihadapan Nabi. Ini nampak jelas dalam pernyataan as Mas’uidy: Nama-nama penulis rasulullah saw yang kami sebutkan hanyalah mereka yang menjadi penulis tetap, melakukan kegiatan tulis menulis setiap hari dan yang menekuni keahlian itu dalam waktu yang relatif lama. Memang ada riwayat-riwayat shahih berkenaan dengan orang yang diperintah oleh nabi muhammad saw menulis satu, dua atau tiga buah surat. Akan tetapi hal itu tidak bisa menjadikannnya mendapat sebutan penulis. Disamping itu penyebutan tersebut juga dikaitkan dengan jumlah tulisannya.(al Khatib, :129)

Jumlah penulis jadi bertambah banyak setelah hijrah nabi ke Madinah, tatkala pemerintahan islam telah stabil. Sembilan masjid yang ada di madinah disamping masjid rasulullah saw menjadi pusat kegiatan kaum muslimin. Mereka mempelajari al qur’an al karim ajaran-ajaran islam, membaca dan menulis. Kaum muslim yang mampu tulis, baca tanpa memungut upah mengajari kawan-kawannya. Yang paling terkenal di antara pengajar-pengajar masa awal itu adalah sa’d ibn ar rubi’ al khazrajiy , salah seorang di antara dua belas perwira kesohor. Busyair bin sa’d ibn tsa’labah, abban ibn sa’d ibn al ‘ash dan lain-lain.

Di samping masjid-masjid itu ada juga sekolah-sekolah tempat anak-anak belajar tulis menulis dan membaca, disamping belajar al qur’an al karim. Sesungguhnya belajar tulis menulis tidak hanya berlaku di kalangan anak laki-laki saja. Akan tetapi kaum wanita juga mempelajarinya dirumah mereka. Abu Bakar ibn Sulaiman ibn abi Khaitsamah meriwayatkan dari asy Syifa’ binti Abdullah bahwa Ia berkata : Rasulullah saw mengunjungiku pada saat aku berada bersama Hafshah lalu bersabda kepadaku :

ألا تعلمين هذه رقية النملة كما علمتها الكتابة

artinya :”Mengapa kamu tidak mengajari wanita ini mengobati cacar, sebagaimana engkau mengajarinya menulis ?”

Kegiatan belajar bertambah meluas dan tersebar diberbagai kawasan islam, seiring dengan tersebarnya sahabat. Kelompok-kelompok belajar semakin marak, dan terbentuk di masjid-masjid. Ada kelompok belajar yang memuat seribu penuntut ilmu lebih, para pendidik juga bertambah banyak. Sekolah bertebaran diberbagai kawasan islam dan dipenuhi oleh para siswa sampai ad Dhahak ibn Muzahim mendesak guru untuk mengendarai himar dalam membimbing siswa disekolahnya, yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang.(al Khatib, :130)

Pendapat bahwa al hadis tidak tertulis pada masa nabi oleh karena tiadanya sarana alat tulis, minimnya penulis dan rendahnya kualitas tulisan mereka adalah suatu hal yang sulit untuk bisa diterima. Hal ini mengingat bahwa juru tulis nabi untuk menulis ayat-ayat al qu’an melebihi dari 30 orang juru tulis, disamping mereka-mereka yang ditugaskan Nabi utnuk menulis urusan-urusan lain yang sifatnya kenegaraan. Begitu pula dengan alasan bahwa ada larangan dari Nabi untuk menulis hadis adalah hal yang tidak bisa diterima kala sehat. Berikut ini akan dibahas beberapa atsar yang melarang dan membolehkan penulisan hadis, sehingga m,enjadi jelas letak permasalahannya.

B. Riwayat Tentang Larangan Menulis Hadis.

Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :

لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه

artinya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya”

2. Abu Sa’id al Khudriy mengatakan :

جهدنا بالنبي صلى الله عليه و سلم أن يأذن لنا فى الكتاب فأبى

artinya “Kami merengek dihadapan Nabi Saw agar beliau mengijinkan kami menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) tetapi beliau tetap tidak berkenan”
Riwayat lain menyebutkan :

استأذنت النبي صلى الله عليه و سلم في الكتابة فلم يأذن لنا

artinya : “Kami memohon ijin kepada nabi muhammad saw untuk menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) Tetapi beliau tidak berkenan memberikan ijin kepada kami”

3. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah saw keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis , lalu beliau bertanya:”apa yang kalian tuliskan itu ?”kami menjawab:”Hadis-hadis yang kami dengar dari tuan”Beliau bersabda:

كتاب غير كتاب الله ؟ أتدرون؟ما ضل الأمم قبلكم إلا بما اكتبوا من الكتب مع كتاب الله تعالى

artinya :”Kitab selain Kitabullah ? Tahukan kalian ? Tidakkah tersesat umat-umat sebelum kamu kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab Ta’ala"

C. Riwayat Tentang Bolehnya Penulisan.

1. Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda :

أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق

artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar”

2. Abu Hurairah r.a berkata;

مامن أصحاب النبى صلى الله عليه و سلم أحد أكثر حديثا عنه منى إلا ماكان من عبد الله ابن عمرو فإنه

كان يكتب ولا أكتب

artinya :” Diantara sahabat nabi saw tidak ada seorang yang lebih banyak meriwayatkan hadis dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah bin Amr karena ia menulis sedang aku tidak”

3. Diriwayatkan dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia berkata : Kami bertanya kepada rsulullah saw “Wahai rasulullah kami mendengar banyak hal darimu. Apakah kami boleh menuliskannya ?” Beliau menjawab :
أكتبوا ولا حرج

artinya :”Tuliskanlah dan tidak mengapa “

4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa tatkala Allah SWT membukakan Makkah bagi rasulullah saw, beliau berdiri dan berceramah dihadapan masyarakat. Lalu ada seorang warga Yaman yang dikenal dengan nama Abu Syah berdiri, lalu berkata :”Wahai Rasululah tuliskanlah untukku. Lalu beliau bersabda;
اكتبوا لأبي شاه !

artinya : “Tuliskanlah hadis untuk Abu Syah !”
Melihat adanya dua riwayat yang saling bertentangan sebagaimana tersebut pada paragraf di atas, maka jumhur muhadisin menyimpulkan hal-hal berikut ini :

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis Abu Said al Khudriy bernilai mauquf alaih artinya ditangguhkan. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini diriwayatkan dari al Bukhari dan yang lain.Hanya saja kita tidak bisa menerima pendapat ini. Karena hadis ini juga ada pada Imam Muslim dan berkualitas shahih. Ia bisa memperkuat kesahihan hadis di atas, yang juga dari Abu Said al Khudriy, yaitu :

إستأذنت النبى صلى الله عليه و سلم ان أكتب الحديث فأبى أن يأذن لى

artinya :”Saya meminta ijin kepada nabi Muhammad saw untuk menuliskan hadis akan tetapi beliau enggan memberikan ijin kepadaku”

2. Bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada awal islam karena khawatir terjadi percampuran antara al qur’an dengan al hadis. Namun tatkala kaum muslimin bertambah banyak dan mereka telah mengenal al qur’an dengan baik serta bisa membedakannya dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga hukum larangan itu terhapus artinya menjadi dibolehkan. Dengan kata lain larangan penulisan hadis itu lebih disebabkan pada penggunaan media yang sama dalam menulis antara lafaz hadis dan al qur’an. Oleh karena itu jika lafaz al hadis ditulis dalam media yang berbeda dengan lafaz al qur’an maka penulisan itu tidak apa-apa.

3. Bahwa larangan belaku bagi orang yang bisa diandalkan hafalannya dan dikhawatirkan memiliki ketergantungan terhadap trulisan. Sedang kebolehan penulisan hadis beralaku bagi orang yang tidak bisa diandalakan hafalannya, seperti Abu Syah.

4. Bahwa larangan itu bersifat umum. Sedang kebolehan itu bersifat khusus berlaku bagi orang yang mahir baca tulis, yang tidak khawatir melakukan kesalahan tulis dan tidak dikhawatirkan melakukan kekeliruan, seperti abdullah ibn amr. karena kekhawatiran seperti itu tidak ada padanya, maka ia diperbolehkan melakukan penulisan hadis.

Mencermati beberapa pendapat yang dimunculkan oelh berbagai kalanagan ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat pertama yang mengatakan hadis said al khudriy mauquf alaih sehingga tidak bisa dijadikan hujjah adalah pendapat yang salah. Karena ulama sepakat bahwa riwayat said al khudriy sekalipun melalui sanad yang berbeda dan masing-masing berbeda kualitasnya ada salah satu diantaranya yang bernilai sahih. Sehingga hadis tentang larangan dan kebolehan menulis hadis itu bisa dijadikan hujah. Adapun pendapat yang kedua sampai keempat ada kemungkinan benar. Artinya bisa saja nabi muhammad saw melarang menulis hadis bersama dengan al qur’qn dalam satu lembaran karena khawatir terjadi campur aduk. Mungkin juga larangan beliau itu terjadi pada masa awal islam sehingga kaum muslimin tidak tersibukkan oleh hadis dan melupakan al qu’an. Beliau ingin agar kaum muslimin memelihara al qur’an didalama dada mereka dan di atas sabak, lembaran-lembaran, maupun tulang belulang untuk mengukuhkan penjagaaan terahapnya. Sementara hadis dibiarkan karena telah terjaga melalui praktek sehari-hari. Sebab mereka selalu menerapkannya. Mereka melihat Nabi sebagai sosok yang ideal yang patut dicontoh.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendapat para pengamat baik dari kalangan orientalis Barat atau ilmuwan dari Timur sendiri, sesungguhnya tidak berdasarkan pada kajian yang ilmiah. Semua ulama sudah mengetahui bahwa pendapat yang menyimpang itu adalah pendapat yang samasekali tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Oleh karena itu tidak pada tempatnya untuk membahas secara panjang lebar keberatan-keberatan orang barat dan orang-orang yang meragukan kekuatan al hadis sebagai dasar hukum.

Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah adalah salah satu dari beberapa sumber hukum yang diakui dalam penetapan hukum islam. Secara hirarkhis posisi al hadis adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. Karena dari berbagai seginya baik dari segi qath’iy al wurudl dan qath’iy al dalalah al hadis menunjukkan pada posisi yang meyakinkan untuk dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syar’iy.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More